Beranda | Artikel
Hak-Hak Al Bara
Minggu, 18 Desember 2016

HAK-HAK  AL BARA’

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Al-Bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah/9: 1]

Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.

HAK-HAK AL-BARA’
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-bara’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:

1. Membenci syirik dan kufur serta penganut-penganutnya dan senantiasa berlepas diri terhadap mereka
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku beribadah kepada Rabb) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.’” [Az-Zukhruf/43: 26-27]

2. Tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dan tidak mencintai mereka serta bara’ dari mereka
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” [Al-Mumtahanah/60: 1]

3. Meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana kecuali untuk keperluan darurat disertai kesang-gupan memperlihatkan syiar-syiar agama Islam dan tanpa ada pertentangan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ.

Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap Muslim yang bermukim di antara kaum musyrikin.”[1]

4. Tidak tinggal di negeri kafir, dan tidak tinggal bersama orang kafir/musyrik, karena orang yang tinggal bersama mereka berarti sama dengan mereka.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ.

Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia sama dengannya.”[2]

5. Tidak menyerupai orang-orang kafir pada apa yang telah menjadi ciri khas mereka dan masalah dunia (seperti gaya makan dan minum) dan juga ciri khasnya yang berkaitan dengan agama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ.

Berbedalah dengan orang-orang musyrik, hendaklah kalian pelihara jenggot[3] dan tipiskan kumis kalian.”[4]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”[5]

Di dalam agama Islam, laki-laki dilarang mencukur jenggot karena mencukur jenggot adalah perbuatan yang haram. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:
a. Merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla (tanpa ada izin dari Allah)
b. Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Menyerupai orang kafir.
d. Menyerupai kaum wanita.[6]

6. Kaum Mukminin diperintahkan untuk menyemir rambut dan menyemir uban (dengan warna selain hitam) karena orang Yahudi tidak menyemir rambut dan tidak mengubah warna uban
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ.

Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka.”[7]

7. Tidak menolong, tidak membantu orang-orang kafir dalam menghadapi kaum Muslimin dan tidak menjadikan mereka sebagai teman setia.[8]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang di luar kalanganmu sebagai teman kepercayaan (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [Ali ‘Imran/3:118]

8. Tidak terlibat dengan mereka dalam bentuk apapun pada hari raya dan kegembiraan mereka, juga tidak memberikan ucapan selamat serta tidak boleh hadir dalam perayaan mereka.

Umat Islam tidak boleh ikut perayaan orang-orang kafir dan tidak boleh mengucapkan selamat kepada mereka. Di antara ciri hamba Allah ar-Rahman adalah mereka tidak menghadiri perayaan orang kafir.

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

“(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri/menyaksikan az-Zuur.” [Al-Furqaan/25: 72]

Menurut Mujahid[9] demikian juga Rabi’ bin Anas (wafat th. 140 H): “Makna اَلزُّوْرُ dalam ayat ini adalah hari raya orang-orang musyrik.”

Menurut al-Qadhi Abu Ya’la[10], makna az-zuur adalah tidak boleh menghadiri perayaan kaum musyrikin.[11]

9. Tidak memohonkan ampunan bagi mereka dan juga tidak memohonkan rahmat terhadap mereka

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahannam.” [At-Taubah/9: 113]

10. Tidak menyandarkan hukum kepada mereka, atau tidak setuju dengan hukum yang dibuat oleh mereka, serta tidak mengikuti ajakan mereka untuk meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[12]

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh pada Nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al-Maa-idah/5: 44]

11. Tidak memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَبْدَؤُا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ، فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ.

Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian berjumpa dengan salah seorang di antara mereka, maka desaklah ia ke tepi (jalan) yang paling sempit.[13]

Apabila orang kafir memulai mengucapkan salam kepada kaum Muslimin, maka jawablah dengan ucapan: “‘Alaikum (عَلَيْكُمْ).”

Dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mereka mengucapkan salam kepada kami, bagaimana kami men-jawab salam mereka?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ucapkanlah وَعَلَيْكُمْ (wa ‘alaikum).”[14]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Abu Dawud (no. 2645), at-Tirmidzi (no. 1604), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, haditsnya shahih. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (V/29-30 no. 1207).
[2] HR Abu Dawud (no. 2787), dari Sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2330).
[3] Kata Imam an-Nawawi: “Hendaknya kalian pelihara jenggot, artinya tidak boleh digunting sedikit pun.” (Lihat Riyaadhus Shaalihiin no. 1204). Di dalam syari’at Islam mencukur jenggot hukumnya haram. Lihat dalil-dalil tentang haram-nya mencukur jenggot di dalam kitab ‘Adillah Tahriim Halqil Lihyah oleh Muhammad bin Ahmad bin Isma’il. Cet. Daar ath-Thayyibah-th. 1408 H.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 5892) dan Muslim (no. 259) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[5] HR. Abu Dawud (no. 4031), Ahmad (II/50), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, hadits ini shahih
[6] Lihat Adabuz Zifaaf oleh Syaikh al-Albani (hal. 207-212), cet. Daarus Salam
[7] HR. Al-Bukhari (no. 3462, 5899), Muslim (no. 2103) dan Abu Dawud (no. 4203), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Jilbabul Mar-atil Muslimah (hal. 187) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.
Ummat Islam dianjurkan menyemir rambut dan uban tetapi mereka tidak boleh menyemir dengan warna hitam karena diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang menyemir dengan warna hitam tidak akan mencium aroma Surga.
[8] Lihat Ali ‘Imran/3: 118
[9] Beliau adalah seorang Imam ahli Tafsir dan ahli Fiqh, Imam Tsiqah, tingkatan ketiga dari Tabi’in, wafat th. 103 H. (Lihat Taqriibut Tahdziib II/159).
[10] Beliau adalah Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Fara’, biasa disebut dengan al-Qadhi Abu Ya’la. Beliau wafat pada th. 458 H
[11] Lihat Iqtidhaa’ush Shiraathil Mustaqiim li Mukhaalafati Ash-haabil Jahiim (I/480-481), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[12] Lihat al-Qur-an surat al-Maa-idah: 44, 46, 47 dan 50.
[13] HR. Muslim (no. 2167 (13)) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[14] HR. Muslim no. 2163 (7) dari Sahabat Anas bin Malik.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6202-hakhak-al-bara.html